Tradisi Buang Anak

Setelah Alun kejang demam kemarin, ada satu waktu saya ngobrol sama ART saya. Gak disangka, dia mulai cerita bahwa waktu bayi anaknya pun sering kejang dan panas tinggi. Dia gak cerita detil pada awalnya, cuma ujung-ujungnya dia bilang sampai-sampai anaknya itu dia buang, kasih ke orang.

what-3

gambar dari openclipart.org

*Duh….kenapa gak buang-buang duit aja sih ya? Kan kita seneng dengernya kalo begitu.

Nah karena penasaran…saya akhirnya mencari celah dan waktu (lagi) untuk ngobrol lebih detil dengannya. Dengan berdalih penasaran tingkat dewa, saya minta dia menceritakan lengkapnya seperti apa.

ART saya ini orang Sunda, tinggal di Lampung, dan di sana ia hidup di lingkungan kampung Jawa alias kampung yang isinya orang-orang Jawa semua. Alhasil dia pandai berbahasa Sunda, Jawa dan sedikit bahasa Lampung. Kebetulan dapat suami ya orang Jawa juga.

Back to anaknya. Jadi waktu bayi laki-lakinya usia sekitar 3 bulan, setiap nangis kejer, alat kelamin bayinya sampai membiru. Belum lagi diiringi dengan suka demam tinggi dan kejang. Dibawalah ke dokter. Diagnosa dokter anak itu menderita semacam turun berok. Harusnya dioperasi, tapi dokter bilang masih terlalu muda dan harus nunggu usia setahun dulu.
Selama masa nunggu itu, sang anak kerap kambuh. Akhirnya, berdasarkan nasihat dari salah satu tetua di kampungnya, si ibu diminta melakukan ritual pengobatan sebagai berikut:

Duduk di pintu keluar mesjid setiap waktu sholat Jumat, terutama saat jamaah sudah selesai dan akan keluar mesjid. Siapa jamaah laki-laki yang paling pertama keluar mesjid, diminta menempelkan ibu jari kakinya ke alat kelamin sang anak. Hanya 1 orang saja. Lakukan itu selama 7 kali Jumatan berturut-turut.

Sudah dilakukan si ibu, dan nampaknya tidak membawa hasil. Pas saya tanya apakah tidak ada jamaah yang bertanya-tanya kenapa ada seorang ibu-ibu menggendong bayi duduk di pintu keluar mesjid setiap pekan meminta ada yang menempelkan ibu jari kaki ke kelamin anaknya? Ia menjawab bahwa orang-orang di sana sudah pada tau semua mengenai ritual ini. Entahlah…..Nampak kurang masuk ke logika saya sebenarnya.

Karena tidak membawa hasil juga, ada tetua lain yang menyarankan ritual yang berbeda. Yaitu: ART saya harus membuang anaknya agar dipungut oleh orang lain. Ritualnya kurang lebih begini:

1. ART dan pihak keluarga sepakat dulu kepada siapa anak ini akan dibuang. Dan kala itu mereka menyepakati akan dibuang ke dukun bayi yang dulu membantu persalinan si anak.

2. Setelah sepakat, di hari H bayi dibungkus bedong. Tikar ditebar di depan pintu rumah. Orang-orang berkerumum berdiri dekat tikar. Sang ibu menggendong anak yang sudah dibedong, diletakkan ke tikar sembari berkata dalam bahasa Sunda yang kurang lebih artinya: anak ini saya buang. Silakan siapa yang mau pungut dia?
Kemudian si dukun bayi yang juga orang Sunda, muncul di antara kerumuman itu dan menjawab, yang kalo diindonesiakan kira-kira: anak ini saya ambil. Kamu boleh merawat dia selamanya tetapi dia sudah menjadi hak milik saya. 

3. Si dukun bayi hari berikutnya menyelenggarakan yasinan dan selamatan yang cukup besar untuk ukuran di kampung, yang intinya memberitahu banyak orang bahwa sekarang dia sudah punya anak yang ia ambil dari orang lain.

Dan………..semua itu hanya formalitas. Saya lega dengernya. Kirain dibuang beneran. Jadi ritual itu hanya seremoni semata seolah-olah anak itu dibuang. Padahal setelah seremoni itupun ya si anak tetep aja menyusu, disuapi, dirawat hingga besar sama ortu kandungnya a.k.a ART saya.
Nah sejak menjalani ritual itu, menurut ART saya, anaknya berangsur sembuh tanpa perlu melalui operasi lagi.

Ketika si anak beranjak SD dan sudah cukup mengerti, si ibu baru memberitahu bahwa dulu ada ritual buang anak. Tapi ya sekali lagi karena hanya formalitas, toh gak pengaruh apa-apa ke anak. Masih tetep tinggal dan diasuh sama ortu kandungnya. Tapi dukun bayi itu juga memperlakukan anak ART saya seolah-olah anak sendiri. Tiap Lebaran katanya pasti dibeliin baju. Bahkan sampai sudah dewasa dan berusia 20 tahun sekarang, ya hubungan kedua keluarga tetap akrab layaknya saudara kandung. Usia si anak sama dengan usia cucu si dukun bayi, rumahnya berdekatan, sering main bareng sejak kecil, sehingga semakin akrablah hubungan keluarga mereka.

ART bilang kalau di kampung itu bukan hanya anaknya saja yang menjadi “anak buangan”. Banyak juga anak-anak lain yang dibuang namun tentu masih dalam lingkungan kampung dan tetangga/saudara dekat sendiri. Penyebabnya rata-rata karena sakit-sakitan di waktu kecil dan adapula yang disebabkan karena ortu si anak berulang kali melahirkan tapi anaknya meninggal terus. Nah untuk menyelamatkan anak berikutnya, dilakukan ritual buang anak. Ndilalah anaknya beneran selamat alias gak ikut meninggal seperti saudara-saudaranya yang terdahulu.

Buat kita apalagi yang tinggal di perkotaan mungkin agak gak bisa diterima logika dan akal sehat ya. Tapi ternyata ada ya, hehehe……
Ada yang pernah mendengar ritual semacam itukah? Sharing yoks di komen 🙂
signature

14 thoughts on “Tradisi Buang Anak

  1. tia putri says:

    Aq jg dlu jaman kecil pernah denger cerita buang anak biar sembuh dr sakit2an. Tp krna gak dijelasin dg lengkap plus jg krna masih kecil jadinya malah kebayang yg gak. Kebawa mimpi pula ada bayi dibuang d tempat sampah terus disapu2 gtu pake sapu lidi, tp bayinya gak nangis, malah mukanya lucu banget. Tapi aq bangun y begidik sendiri. Hih mimpi yg aneh

    Like

    • imeldasutarno says:

      halo mbak, makasih udah sempetin baca ya 🙂 Nah iya sering juga tuh mbak ritual ganti nama. Sbnrnya yg aku amazing bukan tradisi buang anaknya, tapi ngobatin anak dengan nempelin jempol kaki ke kelamin anak itu loh, hehehe ndak habis pikir bukan?

      Like

  2. @_menikdp says:

    Mbakku waktu kecil sakit-sakitan, udah ganti nama (pake selamatan dsb juga) tapi tetep sakit sampai akhirnya menjalani buang anak ini mbak, eh dia sembuh. Buangnya ke tetangga yg kebetulan pengen punya anak perempuan, jadi ibaratnya punya dua ortu gitu hihihi
    Nah pas mbakku mau nikah, itu kayak ada acara kecil semacam ngembaliin mbakku ke ortu asli gitu, simbolik aja sih (tapi aku lupa persisnya gimana 😅 ).

    Liked by 1 person

    • imeldasutarno says:

      halo mbak menik, makasih sudah mampir dan baca ya. Tuh kan ternyata bukan hanya terjadi di kampung ART ku ya tradisi ini. Itulah Indonesia ya mbak…aneka macam ritual dan adat ada semua di sini hehe 🙂

      Like

Leave a comment