Menyogok

Ngobrol-ngobrol sama ART di rumah emang gak ada abisnya. Yaiyalah, karena dia nginap di rumah, otomatis selalu ketemu tiap hari tiap saat hehe. Salah satu bahan obrolan kami adalah soal bagaimana orang-orang di kampung halamannya mencari pekerjaan.

Mbak ART bercerita bahwa anak lelakinya sudah gak bekerja lagi di sebuah perusahaan pembuat kaca aquarium di daerah Tangerang. Lalu katanya di kampung ada saudaranya mbak ART yang mau membantu memasukkan sang anak ke perusahaan pembuat jamu bernama besar di Indonesia ini (gak mau sebut brand ah hehe) yang salah satu pabriknya berada dekat kampung mbak ART.
Tapi, untuk bisa masuk ke situ, kudu nyogok sejumlah kurang lebih 3 juta. Huhuhuhu….saya langsung lemes pas dengernya. Trus spontan saya nyolot: “Waduh ngapain nyogok?! Mbak kalo kerja itu di mana-mana ya kita yang dibayar, bukan kita yang kudu bayar begitu!”
Untungnya si mbak ternyata masih mikir-mikir juga untuk nyogok itu. Dan endingnya dia sepakat dengan anaknya agar uang 3 juta itu mendingan buat bangun kamar mandi yang layak di dalam rumahnya aja ketimbang nyogok buat masuk kerja.
Lalu mbak ART melanjutkan ceritanya lagi. Ada suami dari saudaranya yang nyogok 7 juta hanya agar diterima menjadi sekuriti di sebuah pabrik. Dan gaji yang diterimanya sebagai sekuriti hanyalah 1,9 juta per bulan.

Ngedenger cerita mbak ART saya tiba-tiba teringat cerita seorang teman. Teman saya ini punya kerabat yang tinggal di kampung. Buat keluarga sang kerabat, dan juga kebanyakan orang di kampungnya, profesi seperti polisi, tentara, dokter, pilot, adalah profesi-profesi yang full of pride. Sehingga ketika sang kerabat mempunya anak laki-laki, maka didaulatlah sang anak untuk bisa jadi seorang polisi. Apa daya, ketika tes masuk kepolisian, dia gak lulus. Lalu keluarganya menempuh jalur belakang a.k.a nyogok. Katanya kejadiannya dulu sekitar medio 90an awal. Kurang tau nyogoknya berapa duit, tapi yang pasti ayah sang anak kerja banting tulang, bertani demi mencukupi uang untuk sogokan. Singkat cerita sang anak diterima di kepolisian. Tetapi apa daya (lagi) karena nila setitik rusak susu sebelanga. Sang anak diketahui oleh atasannya, telah nikah siri ketika tengah menjalani ikatan dinas di kepolisian. Lalu endingnya…. dikeluarkan dari kesatuan. Saya yang ngikutin ceritanya ikut sedih, ngebayangin bokapnya si anak nabung, kerja keras buat ngumpulin uang sogokan, eh akhir ceritanya gak menyenangkan. KZL.

Urusan sogok menyogok nampaknya masih banyak terjadi ya di sebagian orang Indonesia. Walaupun di kota besar seperti Jakarta udah lampu merah untuk urusan sogokan atau gratifikasi atau apapun namanya. Siap-siap berhadapan sama KPK bok!
Tapi di level desa apalagi level yang mungkin tidak tersentuh secara serius oleh kontrol hukum, ya masih adalah satu dua kejadian seperti yang saya ceritakan di atas.

Sedih dan miris sih sebenernya. Sekali lagi: kita kalo mau kerja kan logikanya kita yang dibayar, bukan sebaliknya. duh beneran deh uang buat nyogoknya mendingan kasih saya aja deh, mayan buat belanja bulanan #lhah?

Kalau kalian punya pengalaman juga soal sogok menyogok ini gak?
signature

4 thoughts on “Menyogok

    • imeldasutarno says:

      duh mbak herva, aku aja yang cuma diceritain rasanya pengen nampolin itu anak, apalagi yang ngalamin langsung ya, hiks hiks…
      Iya betul, kayaknya itu bentuk teguran dari Yang Di Atas bahwa nyogok itu perbuatan gak bener. Makasih sudah mampir sini ya mbak 🙂

      Like

    • imeldasutarno says:

      Halo mas alwin. Makasih sdh mampir dan baca ya. Iya betul mas…mudah2an ke depannya makin banyak orang yg menyadari kalo ini perbuatan yg gak bener dan dilarang agama ya mas…aamiin

      Like

Leave a comment