Belajar Dari Pop Corn

Kemarin saya dibuat panik. Lagi kerja di kantor, tau-tau dapat laporan dari rumah. Jadi laporannya adalah: Alun tiba-tiba keluar gerbang sekolah saat bapaknya jemput, sudah membawa uang sebesar Rp17,000. Lalu tanpa ba bi bu anaknya langsung menuju kantin depan sekolah dan membelanjakan semua uangnya hanya tinggal tersisa Rp1,500. Jleb!

Pertama: dia baru kelas dua. Sangat jarang saya apalagi pak suami memberikannya uang jajan. Selalu membawa bekal dari rumah. Kalaupun sesekali jajan biasanya pas ada ekskul, dan uang yang saya berikan gak pernah lebih dari Rp6,000.
Kedua: itu uang siapa? Apakah dia merebut uang teman sekelasnya? Kalaupun merebut kenapa nominalnya besar sekali untuk ukuran uang jajan anak kelas dua SD?
Ketiga: Alun ini belum aham soal uang sebetulnya. Buktinya uang Rp17,000 langsung habis dia jajanin. Sistemnya: dia suka sama satu item, lalu dia ngasih semua uang yang ada di tangannya ke penjual, nanti dia nunggu uang segitu dapatnya berapa banyak item. Kalo yang udah ngerti uang kan gak begitu ya sistem jual belinya?

Saya langsung telepon lagi ke pak suami lagi dan pak suami menyarankan apakah mau klarifikasi ulang ke Alun? Saya langsung iyakan dan mulai minta Alun cerita. Mungkin dia juga dilanda panik, rasa bersalah, bingung, semua kumpul jadi satu. Akhirnya ceritanya berubah-ubah, persis kayak tersangka kalo diinterogasi polisi. Inti yang saya tangkap dia main jualan bersama temannya bernama (sebut saja) Yani dan Ana. Dalam jual-jualan itu Ana sudah menyerahkan sejumlah uang dan bilang ke Alun kalau itu untuk membeli pop corn yang Alun jual. Lalu dia berubah lagi ceritanya. Katanya itu uang punya Yani, lalu dalam jual-jualan itu Yani kasih semua uangnya ke Alun. Nambah muter mbulet gak karu-karuan.

Akhirnya daripada penasaran, saya sambil dilanda rasa panik dan takut juga, kirim WA ke mama Yani dan Ana. Berdasarkan info mama Yani, Yani hari ini gak bawa uang ke sekolah. Nah lo! Begitu dapat info dari mama Yani, saya banting stir tanya ke mama Ana. Setelah mama Ana menginterogasi anaknya….akhirnya makin teranglah apa yang terjadi.

Jadi Ana bilang sama Alun kalau dia ingin membeli pop corn Alun dalam kondisi jualan beneran, bukan sekedar main jual-jualan. Untuk yang belum tau soal popcorn Alun yang lumayan banyak peminatnya di kelas, silakan baca tulisan ini ya. Ndilalah Alun tanpa ba bi bu langsung mengiyakan. Ana bahkan bilang kalau saudara kembarnya yaitu Ani (beda kelas di SD yang sama) juga pengen sama pop corn Alun. Lalu Ana memberikan dua lembar sepuluh ribuan dan dua lembar dua ribuan ke Alun, dan berkata kalau barangnya/pop cornnya besok aja gak papa. Saya makin panik…ya Allah rupanya total uangnya bukan lagi Rp17,000 tapi Rp24,000. Duh gede bangeetttt?

Anak yang kegirangan megang duit itu lalu royal dan langsung menghabiskan semua uang, sisa Rp1.500 hiks hiks hiks. Dari nominal Rp24,000 itu:
– Rp4.000 habis dibeliin cokelat bentuk koin dan dibagi-bagilah cokelat itu ke teman-temannya.
– Rp3,000 dia jajanin si Yani susu cokelat.
– Sisanya ya Rp17.000 habis buat jajan es jelly dan membuat penjual es jellynya kegirangan karena tiba-tiba ada anak kelas dua SD ngeborong dagangannya.

Saya langsung gak enak sama mamanya Ana dan Ani. Langsung tanpa berpikir panjang, saya balas WA-nya dengan berkata bahwa besok saya akan gantiin uang Rp24,000 itu dan meminta maaf sebesar-besarnya atas perlakuan Alun. Saya deg2an banget kuatir mama Ana marah atau gimana gitu. Ternyata……reaksinya di luar dugaan saya. Mama Ana hanya senyum-senyum sambil kalem berkata: Alun jiwa dagangnya sudah kelihatan dari kecil ya mbak. Gak papa kok, namanya juga bocah, daripada ganti uangnya, Ana tunggu aja popcorn benerannya. Mungkin anaknya (Ana maksudnya) udah ngeces juga mbak 🙂 Maaf ya mbak jadi harus masakin pop corn beneran deh nih 🙂

Saya langsung speechless ga tau mesti gimana…seneng banget, lega banget karena gak terjadi konflik. Maklum saya bukan tipe ibu-ibu yang macan ternak  dan sering muncul di sekolah. Karena saya ngantor, makanya kurang gaul sama sesama ibu-ibu. Wajar ketika terjadi hal seperti ini, saya dag dig dug, karena ya gak kenal dekat dengan mama Ana dan lain-lain.

Nah, setelah mendapat jawaban adem dari mama Ana, saya langsung ngobrol lagi sama suami via telepon. Suami menasihati saya: kamu lain kali kalau ada problem begini jangan paniknya yang digedein. Pilah-pilah masalahnya ada di mana. Alun ini kreativitasnya sudah jalan, dia mau dagang tetapi endingnya memang dia salah dengan menghabiskan uang hasil dagangnya plus dia gak paham berapa jumlah yang sudah ia habis-habiskan untuk beli es jelly dll. Ini di rumah aku juga nasihatin Alun tapi lebih karena dia gak paham soal uang aja, bukan pada inisiatif dagang dia.
Jangan langsung hantam kromo dan menyalahkan anak plus langsung ketok palu akan mengganti uangnya Ana. Tuh buktinya mama Ana aja kalem dan bisa ngeliat masalah ini secara positif, dia malah muji Alun karena ada jiwa dagang bla bla bla.
Saya terdiam. Iya benar juga apa yang diucapkan pak suami. Gara-gara panik, mikir jadi pendek dan gak bisa membuat keputusan yang bijak.

Lalu, sepulang kantor, saya ajak Alun ngobrol sekali lagi di rumah. Dan semua yang sudah disampaikan mama Ana sama persis dengan yang ia ceritakan. Nampaknya Alun mulai tenang akhirnya bisa bercerita jujur dan runut. Dan endingnya, terpaksa  malam itu saya masakin pop corn untuk Ana dan Ani, biar sayanya juga lega gak berasa keutangan.

Keeseokan harinya Alun membawa dua paket pop corn ke sekolah. Ini penampakannya.

P_20180227_053341-600x800_1-600x800

Sesudah Alun berangkat sekolah, saya langsung WA ke mama Ana, nginfoin kalau paket pop cornnya siap dinikmati kedua anak kembarnya. Mama Ana Ani senang dan gak nyangka kalau pop cornnya banyak banget. Ya saya bilang kan harga yang sudah dibayar Ana juga banyak (Rp24,000) jadi gak mungkin juga masaknya sedikit. Dan endingnya mama Ana selain mengucapkan terima kasih dan mohon maaf karena saya jadi ketambahan repot masak pop corn dadakan, beliau juga mendoakan lagi supaya jiwa entrepreneur Alun terus ada hingga dewasa. Aduh saya meleleh jadinya.

Duh, benarlah jika ada yang mengatakan anak itu adalah “sekolah tanpa akhirnya para orang tua”. Kejadian kemarin benar-benar memberi pelajaran untukku. Yang awalnya panik dan marah, berubah menjadi positif karena perlahan-lahan saya belajar memilah masalah, mencerna mana tindakan anak yang wajib mendapat teguran, salah, dan negative things lainnya. Dan mana tindakan yang justru tersirat sebuah perilaku positif dan kreatif dari anak. Justru ketika menemukan tindakan positif, tugas kitalah sebagai orang tuanya untuk terus meng-encourage dan membimbingnya agar tetap berada di track yang benar.
Maafin ibu ya nak.

Oh iya, saya juga bertanya sama Alun, apa yang membuat ia pengen banget jualan? Dengan polos ia menjawab: biar dapat uang dan bisa beli buku Tintin. (jadi belakangan Alun lagi suka baca serial Tintin gara-gara ngeliat kakak sepupunya yang juga punya beberapa koleksi Tintin). Saya langsung senyam senyum. Oalah naaaaak, kalo mau punya koleksi Tintin ya uang hasil dagangnya ditabung, jangan dijajanin foya-foya sama teman-temannya gitu, hahahahaha……
signature

8 thoughts on “Belajar Dari Pop Corn

    • imeldasutarno says:

      aduuuh kalo soal itu aku malu postingnya na. Udah berkali-kali diajar, anaknya susah mengerti. Nurun dari emaknya kali ni, karena dulu emaknya waktu sekolah matematikanya prah. Di NEM SMP aja nilai matematikaku 4, Na hahahaha

      Like

    • imeldasutarno says:

      ga buka order tapi ada yg maksa order Abdul hahahaha…namanya bocah-bocah ya, asik2 aje dia bilang nyanggupin bikin popcorn, padahal emaknya engga sanggup.
      Iya sudah berusaha dibimbing tentang uang termasuk berkali2 disuruh ke warung biar terbiasa sama hitungan kembalian dll, teteeeep aja gak bisa-bisa anaknya hehehe

      Like

Leave a comment