Edisi Sambat di hari Senin

Kali ini mau cerita yang sedih-sedih gimana gitu……Soal dunia rekrut merekrut karyawan.
Sudah cukup lama saya membantu pak bos di kantor untuk melakukan rekrutmen karyawan. Nah biasanya yang direkrut adalah level staf dengan jenjang pendidikan minimal D3 ke atas.
Sejauh ini, pastilah ketemu dengan aneka permasalahan, baik saat proses interview, maupun saat yang bersangkutan sudah diterima dan mulai bekerja. Ada aja drama-dramanya. Panjang kalo semuanya diceritain satu-satu.

Nah kali ini, pak bos minta bantuan saya untuk rekrut karyawan non staf. Dan posisi tersebut adalah supir alias driver. Flash back sedikit: biasanya, untuk posisi-posisi non staf seperti driver, kurir, office boy, sampai sekuriti, kantor saya menggunakan teknik referensi. Jadi yang direkrut itu bisa teman atau saudara atau tetangga dari salah satu karyawan. Teknik referensi untuk posisi yang saya sebutkan di atas, benar-benar tepat. Karena terjadi beban moral pada si pelamar, sehingga kalau mau berbuat aneh-aneh, tidak jujur, dan lain-lain, sudah tentu ada rasa sungkan dan malu. Apalagi tugas utama sekuriti atau office boy itu sebetulnya berat. Yang satu kudu jagain kantor biar aman. Yang satu lagi menjaga kebersihan dan kerapihan kantor tanpa menimbulkan risiko kerusakan atau kehilangan, apalagi pada barang pribadi milik karyawan lain. Kejujuran dan kepercayaan adalah the must have things banget ya gaes ya.

Sekarang, saya diminta bantuan untuk rekrut driver tapi benar-benar buka lowongan kerja. Dari awal, sebetulnya saya sudah lumayan pesimis. Bakal susah nih kayaknya. Tapi saya tetap coba. Mulailah masuk ke Facebook. Di sana banyak komunitas driver, dan saya mulai share iklan lowongannya.

Banyak yang respon dengan mengirim CV. Standar kepatutan saya turunkan. Biasanya kalau untuk level staf, saya paling KZL kalo nerima CV yang ujug-ujug dikirim tanpa body e-mail, tanpa surat pengantar dll. Tapi kali ini, karena kita berhadapan dengan kerasnya dunia per-driver-an, standar tersebut saya abaikan.
Hampir 100% CV yang saya terima adalah CV saja tanpa pengantar apapun. Bahkan banyak juga yang langsung nulis biodata langsung di body e-mail tanpa ba bi bu.

Proses seleksi pun dimulai. Singkat cerita sudah dapat 5 kandidat yang mau saya wawancara di hari yang bersamaan. Saya datang lebih pagi dari jam mulai wawancara dan menyiapkan ini itu supaya semua lancar.

OK, drama begins……

Ada kandidat yang di jam seharusnya dia interview, malah baru WA ke saya kalau dia harus anterin temannya berobat, dan minta dikasih kesempatan di lain hari. Ada juga kandidat yang samasekali gak hadir dan samasekali gak kirim pesan lewat WA. Total di hari tersebut saya cuma interview 3 orang.

Beberapa hari berikutnya, bikin janji lagi sama another candidates. Seharusnya 2 orang yang datang, dan keduanya ini cukup mumpuni. Mereka lulusan SMA, mengirim e-mail lengkap dengan surat pengantar, dan dari tektok-an e-mail plus WA saya dengan keduanya, terlihat mereka ini sopan dan paham norma/etika. Bisa ketauan dari bahasa yang mereka gunakan kok.
Tibalah hari saya harus interview keduanya. Seperti biasa, saya sudah ready. Tapi kok sudah lewat jam yang ditentukan mereka gak datang ya?
Lima belas menit lewat dari jam yang ditentukan, masuklah WA dari 1 kandidat yang mengabarkan kalau dia berobat ke puskesmas. Dan satu jam berikutnya masuklah WA dari 1 kandidat lainnya yang ngabarin kalau dia kecopetan di stasiun Manggarai dan katanya minjam hape orang lain buat nge-WA saya.

Finally dari beberapa hari yang dilewati mewawancarai beberapa kandidat, akhirnya dapatlah 1 kandidat yang oke, sopan, terlihat berinisiatif tinggi, dan dapat dipercaya. Kantor meloloskan dia, dan mulai kerja jadi driver beberapa hari setelah wawancara. Namun apa yang terjadi? Di hari pertama bekerja, saat harus lembur karena memang hari itu ada kebutuhan urgent yaitu harus nganter pak bos dari rumah ke bandara, doi kabur dong.
Dan cuma kirim WA kalau dia izin pergi makan malam dulu, naik motor, dan akhirnya gak balik-balik lagi. Lalu masih kirim WA lagi yang isinya screenshot WA dari istrinya, yang meminta dia pulang karena anaknya masuk IGD dan butuh tindakan yang harus minta persetujuan dia sebagai ayah. Sesudah kirim screenshot itu sekaligus dia bilang sudah ga mau melanjutkan kerja lagi di tempat kami.

Bukannya saya gak mempercayai semua alasan orang-orang tersebut. Bukannya saya samasekali tidak punya empati terhadap mereka dengan beragam alasan tersebut.
Mungkin ya…mungkin……karena saya sudah berkecimpung di rekrut merekrut ini cukup lama, dan udah banyak sekali mendengar aneka alasan ini itu dari banyak kandidat (FYI: dari kandidat staff pun dengan level pendidikan yang tinggi, seringkali ada aja alasan aneh-aneh last minute yang bikin mood mewawancara menjadi buyar), jadi sejujurnya ke-empati-an saya sedikit menumpul. Alih-alih bersimpati dan menganggap alasan para calon driver itu musibah, saya malah menganggap itu hanya akal-akalan mereka untuk membebaskan diri dari komitmen dan kontan sayapun ilfeel.
Ya mungkin saya salah. Tapi saya juga ga bisa menutupi perasaan kecewa saya terhadap mereka. Ujung-ujungnya apa? Stereotype negatif terhadap level bawah, levelnya para driver ini.

Kenapa ya attitude mereka begitu? Boleh jadi karena level pendidikan dan kemalasan. Pendidikan ini maksudnya ga terbatas hanya di akademis/sekolah ya. Tapi bisa jadi saat mereka dididik di rumah oleh ortu masing-masing. Saat mereka menerima “didikan” dari lingkungan masing-masing juga mempengaruhi. Bagaimana harus bersikap, menjaga sopan santun, menjadi manusia beretika, dan lain-lain. Masalah kemalasan, bisa jadi inginnya kerja yang mudah, gak bikin capek, tapi gaji memadai. Kemalasan ini juga berhubungan dengan pendidikan. Punya smartphone tapi ga dipakai buat belajar banyak hal, tapi malah nonton Tiktok, reels, meme, dan sejenisnya.
Itulah yang pada akhirnya membentuk personality mereka. Gak merasa punya salah dengan cara kabur halus seperti itu. Gak merasa punya komitmen, jadi bisa ngebatalin wawancara sewaktu-waktu.

Ah iya, intermezzo dikit. Jadi keingetan satu hal lagi: ada kandidat yang terpaksa ga jadi saya panggil. Karena saya cek foto profil WA nya, ternyata bukan berisi foto. Tapi serangkaian kalimat makian kepada orang lain yang nampaknya tengah berkonflik dengannya. Bayangkan, kalimat makian yang kurang pantas, malah dijadikan foto profil. Dari situ saya sudah yakin bahwa manusia yang satu ini adalah golongan sumbu pendek. Dan ternyata ga berhenti sampai di situ. Saya lihat status WAnya, dia mengunggah sebuah video dari Tiktok yang captionnya mengajak kita untuk slow aja menikmati hidup tapi dalam kalimat captionnya ada kata “f*ck” dan sejenisnya. Isi videonya sih orang joget-joget sambil ketawa-ketawa. Duh makin males dong ya hati ini untuk memanggil si kandidat tersebut. Sempat saya perlihatkan ke pak suami. Beliau cuma komen: wah konyol ya ini orang, padahal posisinya lagi nyari kerja, nyebar lowongan di mana-mana, tapi profil personalitinya kayak gini.

Sedih sekaligus kasihan sebetulnya saya. Inilah yang membuat mereka sulit maju, sulit mendapat pekerjaan. FYI: ketika saya sebar lowker di komunitas-komunitas itu, isi timeline komunitas sebagian besar adalah orang-orang yang cenderung meratapi nasib. Bahwa mereka sudah berbulan-bulan nganggur, memohon info pekerjaan posisi driver dari sesama anggota, demi menafkahi anak istri. Yah kurang lebih seperti itulah. Makanya jadi sedih sendiri: ketika diberikan kesempatan, malah kurang punya daya juang. Tapi di sisi lain terus mengeluhkan nasib di media sosial. Jadi maunya bagaimana?

Nah kan, jatuhnya jadi stereotype dan merendahkan ya postingan ini? Tapi ya kenyataan yang saya alami seperti ini. Mohon maaf banget jika banyak kata-kata dalam postingan ini yang menyinggung dan kurang berkenan. Semata-mata numpahin kekecewaan yang sudah numpuk dari beberapa minggu merekrut calon driver ini.

Udah dulu ya……uneg-uneg hari ini diakhiri sampai di sini. Edisi sambat di hari Senin ya guys judulnya 🙂
Sekali lagi mohon maaf kalau kurang berkenan.

Leave a comment