Q: Sudah membahagiakan ibu belum sampai saya sudah setua bangka ini?
A: Beluuuum…..masih banyak keinginan ibu yang sederhana tapi saya bahkan gak bisa memenuhinya, dengan aneka alasan mulai dari sok sibuk, gak punya duit, dll dsb
Q: Sudahkah berhenti durhaka pada ibumu?
A : Beluuum….kadang masih suka kesel kalo beda pendapat, kadang ngomong ke ibu dengan nada agak tinggi, kadang masih ngebatin kalo di mata saya ibu bersikap kurang tepat.
Q: Sanggupkah engkau merawat ibumu ketika beliau semakin renta dan benar-benar akan tergantung sepenuhnya padamu?
A: Entahlah. Ada kalimat bijak mengatakan “seorang ibu sanggup mengurus 10 anaknya, tapi 10 anak belum tentu sanggup mengurus 1 orang ibu.” Entahlah, sampai saat ini belum berani bilang sanggup. Ketika nanti ibu semakin menua, semakin sulit berjalan, makan dan sangat tergantung pada orang lain untuk semua aktivitas fisiknya, saya pun bertanya pada diri sendiri, sanggupkah saya mengurusnya, sama seperti ia mengurus dan merawat saya sejak saya bayi? Atau, saya malah menyewa seorang suster khusus untuk mengurus lansia, dengan alasan saya sibuk kerja cari duit?
Q: Lalu, dengan semua jawaban di atas, apa yang bisa kau lakukan untuk membalas semua budi beliau?
A: Tidak ada. Saya masihlah menjadi anak yang durhaka sampai sekarang. Anak yang bahkan tidak pernah sanggup berpikir bagaimana membalas semua budi beliau. Syukur hingga saat ini ibu tidak pernah mengeluarkan kutukan seperti zaman Malin Kundang dulu, untuk si anak yang ngeselin seperti saya ini.
Ya, si durhaka ini tak kan pernah sanggup….sampai kapanpun. Sama seperti riwayat di zaman Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu ‘Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang Yaman itu bersenandung,
إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ
Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.
Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.
Orang itu lalu bertanya kepada Ibn Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.” (Adabul Mufrad no. 11; Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
sumber: muslimah.or.id
Untukmu yang mengalami berat dan susahnya membawaku dalam perut selama 9 bulan.
Untukmu, yang sudah bertaruh nyawa melahirkanku, menghadirkanku melihat indahnya bumi ini.
Untukmu yang setetes air susunya takkan pernah sanggup kubalas bahkan ketika aku sanggup memikul 10 gunung di dunia ini.
Untukmu yang meneteskan air mata dan menahan sakitnya hati melihat betapa nakal dan membangkangnya aku ketika kecil.
Untukmu yang menahan rasa lapar dan berpura-pura kenyang sembari tersenyum padaku yang malah asik memakan jatah makanan kesukaanmu ketika kukecil.
Untukmu yang pernah mendengar nada tinggi dari mulutku hanya gara-gara kutak puas dengan peraturan yang kau buat di rumah.
Selamat hari ibu.
Dan di harimu ini, aku pun malah memintamu mendoakanku, agar aku masih bisa berbakti padamu. Masih bisa mengurus dan membahagiakanmu. Walau apapun yang berusaha kuperbuat takkan pernah bisa membalas semua yang telah engkau lakukan padaku. Duh, anak macam apa aku ini, bu?
Mbk….
Duh tulisanmu nampol bgd di aku mbk.
Udh segede ini masih aja kdg bertingkah kyk zaman masih labil. Ngapunten Ibuk.
😣😣😣
LikeLiked by 1 person
maaak, maaf baru bales komenmu mak. Iya…hiks hiks kita sama ya mbak, masih aja betingkah padahal usia udah makin tua
LikeLike
ah sedih 😦
LikeLike
Saya cuma bisa kirim doa ke ibu nih. Sudah lama meninggal dunia hiks..
LikeLiked by 1 person
al fatihah untuk ibumu mbak 😦
LikeLike
Aah.. Jadi sedih bacanya 😦
Akupun nasih seperti itu…
LikeLiked by 1 person
hiks hiks…iya mbak
LikeLike
Terharu Mba.
LikeLiked by 1 person
hiks hiks…terima kasih sudah mbaca ya 😦
LikeLike
Sedih aku, Mel.. postingan ini juga mencerminkan aku 😢😢😢😢
LikeLiked by 1 person
hiks hiks…iya. Kayaknya most of us ngerasa begini deh sama nyokap sendiri 😦
LikeLiked by 1 person